Ditjen Pajak: Kami Tidak Mata-matai Wajib Pajak‎

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain untuk Menghitung Peredaran Bruto bagi wajib pajak (WP).

Dengan aturan ini, petugas pajak dapat menghitung dan menetapkan penghasilan kotor atau omzet WP nakal dengan cara lain, termasuk dari biaya hidup WP.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, sesuai Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), WP Badan dan WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib menyelenggarakan pembukuan.

Aturan ini dikecualikan bagi pelaku usaha yang memiliki omzet sampai dengan Rp 4,8 miliar per tahun karena sudah ditetapkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final 1 persen dari omzet sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013.

Dalam praktiknya, Hestu Yoga menegaskan, pada saat dilakukan pemeriksaan, didapati wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan tersebut, ternyata tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak meminjamkan pembukuan, beserta bukti-bukti pendukungnya saat dilakukan pemeriksaan.

“Oleh sebab itu, peredaran brutonya tidak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya,” jelas dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (5/3/2018). ‎

Petugas pajak dapat menghitung omzet WP dengan metode lain apabila saat pemeriksaan, WP tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan dan tidak sepenuhnya menunjukkan bukti pendukung pembukuan.

Ada delapan metode untuk menetapkan omzet yang sesungguhnya, sehingga fiskus bisa menetapkan pula pajak yang harus dibayar. Salah satunya melihat dari biaya hidup WP.

“‎Ini pendekatan saja melalui perhitungan biaya hidup di dalam menetapkan penghasilan dan pajak yang harus dibayar. Ini bukan untuk mengetahui rahasia dan gaya hidup WP,” tegas Hestu Yoga.

Dia pun membantah jika Ditjen Pajak disebut-sebut mengintai kehidupan pribadi WP. “Ini hanya dalam hal dilakukan pemeriksaan. Kami tidak memata-matai WP, terutama terkait dengan hal-hal yang privasi,” tegasnya.

‎Hestu Yoga menegaskan, apabila WP telah melaporkan penghasilan dan pajaknya dengan benar, tidak perlu ada kekhawatiran sama sekali ketika dilakukan pemeriksaan.

“Dengan metode apapun yang digunakan oleh pemeriksa, kalau semua sudah terlaporkan dengan benar, tidak akan terjadi penetapan pajak yang tidak tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya,” dia menjelaskan.

Untuk diketahui, pada Pasal 2 PMK 15/2018, menyebut ada delapan metode lain yang digunakan petugas pajak untuk menghitung omzet WP, antara lain dengan melihat data:

  1. transaksi penerimaan tunai dan nontunai WP dalam suatu tahun pajak.
  2. sumber dan penggunaan dana.
  3. satuan dan volume usaha yang dihasilkan WP dalam suatu tahun pajak.
  4. perhitungan biaya hidup WP beserta tanggungannya, termasuk kekayaan dalam suatu tahun pajak.
  5. penambahan kekayaan bersih WP pada awal dan akhir tahun dalam suatu tahun pajak.
  6. berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya.
  7. proyeksi nilai ekonomi dari suatu kegiatan usaha pada saat tertentu untuk suatu tahun pajak.
  8. perhitungan rasio berdasarkan persentase atau rasio pembanding.

Perhitungan omzet WP dengan cara lain yang tertuang dalam PMK Nomor 15 Tahun 2018 ini berlaku jika WP sedang dilakukan pemeriksaan serta belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atas omzet WP.

 

Sumber: https://bisnis.liputan6.com/read/3340460/ditjen-pajak-kami-tidak-mata-matai-wajib-pajak

Mulai Januari 2018, Penghasilan atas Rumah Kos Tidak Dikenakan PPh Final Pasal 4 (2) 10%

Seperti kita ketahui, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2017 tentang PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN yang diundangkan tanggal 11 September 2017 dan berlaku mulai Januari 2018.

Dalam peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) ” Atas  penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh Bangunan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final“.

Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa “Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari jasa pelayanan penginapan beserta akomodasinya.”

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (3) tersebut yang dimaksud dengan “jasa pelayanan penginapan” antara lain kamar, asrama untuk mahasiswa/pelajar, asrama atau pondok pekerja, dan rumah kos.

Berdasarkan hal tersebut, sejak Januari 2018 :

  1. Kamar
  2. Asrama untuk Mahasiswa/Pelajar
  3. Asrama atau Pondok Pekerja
  4. Rumah Kos

Tidak Terhutang PPh Final Pasal 4 (2) sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto penghasilan.

Lantas dikenakan Pajak apa? Pajak yang dikenakan adalah sepanjang penghasilan dalam 1 tahun pajak kurang dari Rp4,8 milyar tetap dikenakan PPh final tetapi dengan tarif sebesar 1% berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 46 Tahun 2013. Apabila penghasilan melebihi 4,8 Miliar dalam 1 tahun pajak, maka akan dikenakan tarif PPh umum Pasal 17 UU PPh.

Data Pelanggan Seluler Pasca Bayar Wajib Dilaporkan ke DJP

Instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak.  Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.03/2017, salah satu pihak yang diwajibkan yaitu Penyelenggara Jaringan Bergerak Seluler yang meliputi:

  1. PT Hutchison 3 Indonesia
  2. PT Indosat, Tbk
  3. PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia
  4. PT Smartfren Telecom, Tbk
  5. PT Smart Telecom
  6. PT Telekomunikasi Selular
  7. PT XL Axiata, Tbk

Penyelenggara Jaringan Bergerak Seluler sebagaimana dimaksud di atas wajib menyampaikan secara online data pelanggan jaringan bergerak seluler pasca bayar dalam bentuk Data Elekronik, yang paling sedikit memuat:

No  Rincian Jenis Data dan Informasi  Deskripsi
1 Nama pelanggan Nomor 1, 2, 3, dan 4 merupakan nama, tempat, tanggal lahir dan Nomor Induk Kependudukan (NIK sesuai dokumen identitas pelanggan
2 Tempat lahir pelanggan
3 Tanggal lahir pelanggan
4 Nomor Induk Kependudukan (NIK) pelanggan
5 Nomor telepon bergerak seluler Merupakan nomor telepon seluler (jaringan bergerak)
6 Nomor telepon lain yang dapat dihubungi (jika ada) Nomor 6 dan 7  merupakan nomor telepon lain dan email yang dapat dihu bungi ( sesuai data yang tersedia)
7 Email
8 Alamat domisili pelanggan Merupakan alamat domisili pelanggan
9 Alamat penagihan pelanggan (jika berbeda dari no.8) Merupakan alamat penagihan pelanggan ( sesuai data yang tersedia)
10 Jumlah Tagihan Bulanan Merupakan jumlah tagihan bulanan termasuk jumlah tagihan langganan data ( dalam Rupiah)

Jadwal penyampaian  data tersebut di atas dilakukan setiap triwulanan (paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan pencetakan tagihan). Untuk Penyampaian pertamakali dilakukan pada 15 Januari 2018 untuk masa Oktober s.d. Desember 2017.

Sumber : https://www.ortax.org/ortax/?mod=info&page=show&id=257&list=1

Beberapa Perubahan atas Kewajiban Pelaporan SPT Masa dan SPT Tahunan

Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) tanggal 23 Januari 2018 yang berlaku sejak tanggal diundangkan.

Adapun pokok-pokok perubahan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut adalah sebagai berikut:

No. Jenis Pajak Ketentuan Terbaru Keterangan
1 PPh Pasal 25 Wajib Pajak dengan Angsuran PPh Pasal 25 Nihil, DIKECUALIKAN dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25 Pasal 10 ayat (4)
2 PPN Pemungut PPN dikecualikan dari Kewajiban Pelaporan SPT Masa PPN, dalam hal pada suatu masa Pajak tidak terdapat transaksi yang harus dipungut PPN dan/atau PPnBM pasal 10 ayat (8a)
3 PPH Pasal 21 Wajib Pajak dengan jumlah Pemotongan PPh Pasal 21/26 NIHIL, dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26, Kecuali Masa Desember Pasal 10 ayat (2) dan ayat (2a)
4 PPN JLN dan PPN KMS Pembayaran PPN JLN dan PPN KMS oleh Wajib Pajak Non PKP, dianggap sekaligus sebagai pelaporan SPT PPN sepanjang telah mendapatkan validasi NTPN Pasal 11 ayat (2a)
5 PPN Kewajiban Penyampaian SPT Masa PPN wajib melalui E-Filing bagi seluruh PKP Pasal 3A ayat (3) jo. Pasal 8 ayat (7)
6 PPh Pasal 21 Kewajiban Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21/26 melalui Efiling bagi Wajib Pajak Badan yang sebelumnya menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dalam bentuk dokumen elektronik. Pasal 8 ayat (6)
7 Tahun Pajak Mengatur Penyebutan Tahun Pajak dalam SPT Bagian Tahun Pajak dan mengatur batas akhir pelaporan SPT Bagian Tahun Pajak. Pasal 9A
8 Penelitian SPT Mengatur Tata Cara Penelitian SPT untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak Pasal 21A – 21E

 

Batasan Omzet PKP dan Tarif PPh Final UKM Akan Turun?

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atau Ditjen Pajak Kementerian Keuangan menegaskan, rencana penurunan batasan omzet Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari saat ini Rp 4,8 miliar per tahun bertujuan untuk menjaring lebih banyak basis wajib pajak (WP) dari kalangan usaha kecil dan menengah (UKM).

Hal ini menyusul penolakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terhadap rencana kebijakan tersebut.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Robert Pakpahan mengaku, rencana pemangkasan batasan omzet PKP dan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final UKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen masih digodok oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu.

“Itu belum final, masih digodok di BKF,” ujar dia saat ditemui di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Kamis (25/1/2018).

Saat ditanyakan mengenai apakah benar penurunan batasan omzet PKP UKM dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 2,5 miliar, Robert mengaku belum mengetahuinya.

“Tidak tahu aku. Belum,” kata mantan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu itu.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menegaskan, revisi skema PPh Final bagi pelaku UKM lebih bertujuan untuk menjangkau lebih banyak pengusaha kecil menengah masih dalam sistem perpajakan.

“Kalau toh direvisi supaya menjangkau lebih banyak lagi UKM, masuk ke sistem dan mau membayar. Jadi, kita buat skema yang lebih menarik,” ujar dia.

Hestu Yoga menjelaskan, Ditjen Pajak menargetkan peningkatan basis pajak dari UKM melalui penurunan tarif PPh Final menjadi 0,5 persen dan batasan omzet PKP UKM dari semula maksimal Rp 4,8 miliar per tahun.

“Makanya kita akan sosialisasikan harus lebih baik. Kalau sekarang yang pakai PP 46/2013, rata-rata sekitar 600 ribu UKM, maka kalau diturunkan (tarif dan batasan) maka harus meningkat jumlahnya. Berapa? tunggu regulasinya,” papar dia.

Hestu Yoga mengaku belum dapat menjelaskan secara lebih gamblang mengenai revisi aturan pajak bagi UKM. Dia hanya memastikan bahwa Ditjen Pajak akan melakukan mitigasi dari risiko yang akan muncul dengan adanya penurunan batasan omzet PKP dan tarif PPh Final UKM.

“Belum diputuskan arahnya ke mana. Tapi kami akan menjalankan kalau aturan sudah keluar, termasuk memitigasi kalau ada yang mengecilkan (omzet) atau segala macam,” tutur Hestu.

Dia bilang, aturan penurunan batasan omzet dan tarif pajak bagi UKM akan keluar setelah payung hukum pajak e-commerce meluncur. Saat ini, aturan pajak e-commerce sudah dalam tahap finalisasi. Prinsip e-commerce ada tiga, yaitu menciptakan level playing field antara online dan konvensional, kesederhanaan dalam pelaksanaan perpajakannya, dan tetap memberikan insentif kepada startup (UKM).

“E-commerce tinggal finalisasi. Revisi aturan UKM seyogianya keluar satu paket karena irisannya sama. Walaupun tidak berbarengan keluarnya (aturan e-commerce dan revisi pajak UKM) tapi jadi satu paket,” pungkas Hestu Yoga.

sumber: https://bisnis.liputan6.com/read/3238413/alasan-djp -turunkan-batas-omzet-kena-pajak-bagi-ukm

Direktorat Jenderal Pajak telah menonaktifkan Sertifikat Elektronik dari 1.049 Wajib Pajak yang Terindikasi Merupakan Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah

Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak pada Rabu, 24 Januari 2018 telah menonaktifkan Sertifikat Elektronik dari 1.049 Wajib Pajak yang terindikasi merupakan penerbit Faktur Pajak tidak sah. Penetapan status suspend ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidah Sah oleh Wajib Pajak.

PER-19/PJ/2017 ini dimaksudkan untuk mencegah dan menghentikan kerugian lebih lanjut pada penerimaan pajak serta mengembalikan kerugian penerimaan pajak, Beberapa ketentuan yang penting diketahui antara lain sebagai berikut:

1. Perlakuan terhadap Penerbitan FP Tidak Sah

WP yang terindikasi menerbitkan FP tidak sah akan dijatuhi status non-aktif (suspend) sehingga WP yang bersangkutan tidak dapat menerbitkan FP secara elektronik hingga ada klarifikasi yang dapat diterima DJP. Kriteria yang digunakan DJP untuk menetapkan atau mencabut status suspend adalah sebagai berikut:

a. Keabsahan identitas WP, pengurus, dan/atau penanggung jawab WP;
b. Keberadaan serta kesesuaian atau kewajaran profil WP, pengurus, dan/atau penanggung jawab WP;
c. Keberadaan dan kewajaran lokasi usaha WP, dan
d. Kesesuaian kegiatan usaha WP

Apabila dalam 30 hari kalender setelah ditetapkan status suspend WP tidak dapat memberikan klarifikasi yang memadai, maka DJP mencabut sertifikat elektronik sehingga WP tidak dapat lagi menerbitkan FP untuk waktu seterusnya.

Dalam hal terhadap WP sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan, maka WP tidak boleh memberikan klarifikasi namun dapat memberikan keterangan beserta dokumen pendukung kepada Pemeriksa Bukti Permulaan atau Penyidik yang bersangkutan.

Status suspend dicabut apabila WP mampu memberikan klarifikasi yang menunjukkan pemenuhan empat kriteria tersebut di atas. Namun demikian, apabila terdapat indikasi bahwa WP melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, antara lain merupakan penerbit FP yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka terhadap WP yang bersangkutan tetap dilanjutkan dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Kedepan, DJP secara konsisten dan berkesinambungan akan terus mengejar para penerbit FP tidak sah melalui penetapan status suspend dan penegakan hukum sehingga ruang gerak penerbit faktur akan semakin sempit dan kerugian negara semakin dapat diminimalkan.

2. Perlakuan terhadap Penggunaan FP Tidak Sah

Terhadap WP yang menggunakan FP tidak sah yaitu yang berisi keterangan yang tidak benar, maka Pajak Masukan yang tercantum dalam FP tersebut tidak dapat dikreditkan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai, dan pajak masukan serta harga perolehan yang tercantum dalam FP tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi sebagai harta dalam SPT Tahunan PPh.

Apabila WP telah melakukan pengkreditan, pembebanan sebagai biaya, atau kapitalisasi harta menggunakan FP tidak sah, maka WP yang bersangkutan harus membetulkan SPT Masa PPN dan/atau SPT Tahunan PPh.

FP adalah bukti pungutan PPN yang dibuat oleh PKP yang melakukan penjualan barang atau jasa kena pajak yang berfungsi sebagai dasar PKP melaksanakan mekanisme pengkreditan pajak masukan dengan pajak keluaran. Penerbit dan pengguna FP tidak sah memanfaatkan sistem PPN untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mencuri dari keuangan negara.

Dalam kasus FP tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau umum dikenal FP fiktif, penerbit berperan sebagai lawan transaksi dari pengguna faktur dalam transaksi yang sebenarnya tidak terjadi. Akibat dari penggunaan FP fiktif ini adalah menggelembungkan pajak masukan yang dapat dikreditkan sehingga PPN yang seharusnya disetor menjadi lebih kecil atau bahkan pembobolan keuangan negara melalui pengembalian pajak oleh para pengguna FP fiktif tersebut.

Pada tahun 2016-2017, jumlah kasus FP fiktif yang ditangani Kantor Pusat DJP mencapai 525 kasus dengan potensi kerugian negara mencapai Rp1,01 triliun, dengan 216 kasus berlanjut ke tahap pemeriksaan bukti permulaan.

Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara. Oleh karena itu DJP mengajak seluruh WP untuk berpartisipasi mendanai pembangunan nasional dengan menghitung, membayar, dan melaporkan pajak secara benar dan tepat waktu.

DJP mengimbau WP untuk menghindari praktik curang dan penggelapan pajak termasuk dengan penerbitan dan penggunaan FP fiktif. DJP dengan dukungan penuh seluruh lembaga penegak hukum akan menindak tegas segala bentuk penghindaran pajak yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Frequently Asked Questions (FAQs) terkait penetapan status suspend termasuk tata cara klarifikasi tersedia di laman https://www.pajak.go.id/faq-status-suspend. Bagi WP yang membutuhkan informasi lebih lanjut seputar perpajakan dan berbagai program dan layanan yang disediakan DJP, kunjungi www.pajak.go.id atau hubungi Kring Pajak di 1500 200.

#PajakKitaUntukKita

sumber: https://www.pajak.go.id/djp-suspend-1049-wp-terindi kasi-penerbit-faktur-ilegal

ativador office 2013 

Syarat Pendaftaran NPWP dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Peraturan Terbaru

Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-02/PJ/2018 tentang PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-20/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN DAN PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PELAPORAN USAHA DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK,
SERTA PERUBAHAN DATA DAN PEMINDAHAN WAJIB PAJAK tanggal 19 Januari 2018. Perdirjen ini merubah Pasal 6 dan Pasal 18 yaitu dokumen yang dipersyaratkan dalam hal permohonan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

 

Berikut ini dokumen yang dipersyaratkan dalam pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Permohonan Pengukunan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sesuai dengan PER-02/PJ/2018:

Pendaftaran NPWP:

a. untuk Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), yaitu:

1. bagi Warga Negara Indonesia (WNI), berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP); atau
2. bagi Warga Negara Asing (WNA):

a) fotokopi paspor; dan
b) fotokopi Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP).
b. untuk Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, yaitu:

1. bagi WNI:

a) fotokopi KTP; dan
b) dokumen berupa:

1) surat pernyataan bermeterai dari Wajib Pajak yang menyatakan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tersebut dilakukan; atau
2) keterangan tertulis atau elektronik dari penyedia jasa aplikasi online yang menyatakan bahwa Wajib Pajak merupakan mitra usaha penyedia jasa aplikasi online;

atau

2. bagi WNA:

a) fotokopi paspor;
b) fotokopi KITAS atau KITAP; dan
c) dokumen berupa:

1) surat pernyataan bermeterai dari Wajib Pajak yang menyatakan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tersebut dilakukan; atau
2) keterangan tertulis atau elektronik dari penyedia jasa aplikasi online yang menyatakan bahwa Wajib Pajak merupakan mitra usaha penyedia jasa aplikasi online.
c. untuk Wajib Pajak orang pribadi wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah berdasarkan keputusan hakim, yaitu:

1. fotokopi KTP; dan
2. dokumen berupa:

a) surat pernyataan bermeterai dari Wajib Pajak yang menyatakan kegiatan usaha atau pekeijaan bebas yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tersebut dilakukan; atau
b) keterangan tertulis atau elektronik dari penyedia jasa aplikasi online yang menyatakan bahwa Wajib Pajak merupakan mitra usaha penyedia jasa aplikasi online,

dalam hal Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

d. untuk Wajib Pajak orang pribadi wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya, yaitu:

1. fotokopi KTP;
2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami dalam hal suami merupakan WNI, atau fotokopi dokumen identitas perpajakan di luar negeri dalam hal suami merupakan subjek pajak luar negeri;
3. fotokopi kartu keluarga, akta perkawinan, atau dokumen sejenisnya;
4. fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami; dan
5. dokumen berupa:

a) surat pernyataan bermeterai dari Wajib Pajak yang menyatakan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tersebut dilakukan; atau
b) keterangan tertulis atau elektronik dari penyedia jasa aplikasi online yang menyatakan bahwa Wajib Pajak merupakan mitra usaha penyedia jasa aplikasi online,

dalam hal Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

e. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, yaitu:

1. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi; dan
2. dokumen berupa:

a) surat pernyataan bermeterai dari Wajib Pajak yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan; atau
b) keterangan tertulis atau elektronik dari penyedia jasa aplikasi online yang menyatakan bahwa Wajib Pajak merupakan mitra usaha penyedia jasa aplikasi online.
f. untuk Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c yang berorientasi pada profit (profit oriented), yaitu:

1. fotokopi:

a) akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahannya, bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri; atau
b) surat keterangan penunjukan dari kantor pusat, bagi bentuk usaha tetap atau kantor perwakilan perusahaan asing;
2. dokumen yang menunjukkan identitas diri salah satu pengurus Badan:

a) bagi WNI, yaitu:

1) fotokopi KTP; dan
2) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;

atau

b) bagi WNA, yaitu:

1) fotokopi paspor; dan
2) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dalam hal WNA telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;

dan

3. surat pernyataan bermeterai dari salah satu pengurus Wajib Pajak Badan yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.
g. untuk Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c yang tidak berorientasi pada profit (non profit oriented), yaitu:

1. dokumen yang menunjukkan identitas diri salah satu pengurus Badan:

a) fotokopi KTP, dalam hal pengurus adalah WNI; atau
b) fotokopi paspor pengurus, dalam hal pengurus adalah WNA;

dan

2. surat pernyataan bermeterai dari salah satu pengurus Wajib Pajak Badan yang menyatakan kegiatan yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan tersebut dilakukan.
h. untuk Wajib Pajak Badan berbentuk kerja sama operasi (joint operation) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d, yaitu:

1. fotokopi perjanjian kerjasama atau akta pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi;
2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing anggota bentuk kerja sama operasi yang diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. dokumen yang menunjukkan identitas diri salah satu pengurus perusahaan anggota bentuk kerja sama operasi (joint operation):

a) bagi WNI, yaitu fotokopi KTP dan Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
b) bagi WNA, yaitu:

1) fotokopi paspor; dan
2) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dalam hal WNA telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;

dan

4. surat pernyataan bermeterai dari salah satu pengurus Wajib Pajak Badan yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.
i. untuk Wajib Pajak dengan status cabang dari Wajib Pajak Badan, yaitu:

1. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak pusat atau induk; dan
2. surat pernyataan bermeterai dari pimpinan cabang yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.
j. untuk Wajib Pajak Bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf e, yaitu:

1. fotokopi dokumen penunjukan sebagai Bendahara; dan
2. fotokopi KTP orang pribadi yang ditunjuk sebagai bendahara.

Pengukuhan PKP:

Dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dan Pasal 17 ayat (3), meliputi:

a. untuk Wajib Pajak orang pribadi:

  1. fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Warga Negara Indonesia;
  2. fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) bagi Warga Negara Asing; dan
  3. surat pernyataan bermeterai dari Wajib Pajak yang menyatakan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tersebut dilakukan.
b. untuk Wajib Pajak Badan:

  1. fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
  2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak salah satu pengurus, atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab adalah Warga Negara Asing dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  3. surat pernyataan bermeterai dari salah satu pengurus Wajib Pajak Badan yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.
c. untuk Wajib Pajak dengan status cabang dari Wajib Pajak Badan:

  1. fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
  2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak salah satu pengurus cabang, atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab cabang adalah Warga Negara Asing dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  3. surat pernyataan bermeterai dari salah satu pengurus cabang yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.
d. untuk Wajib Pajak Badan bentuk kerja sama operasi (joint operation):

  1. fotokopi perjanjian kerja sama/akta pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (joint operation);
  2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing anggota bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi salah satu pengurus perusahaan anggota bentuk kerja sama operasi (joint operation), atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab adalah Warga Negara Asing dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  4. surat pernyataan bermeterai dari salah satu pengurus Wajib Pajak kerja sama operasi (Joint Operation) yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.

Dalam hal dokumen yang disyaratkan dalam rangka pendaftaran Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak , telah tersedia dalam bentuk data elektronik pada basis data Direktorat Jenderal Pajak, fotokopi dokumen yang disyaratkan tersebut tidak perlu dilampirkan.

 

 

Periode Pelaporan SPT Tahunan Mendekat, Ditjen Pajak Imbau Masyarakat Lapor Pajak Secara Benar dan Tepat Waktu

Jakarta  –  Menjelang  periode  pelaporan  Surat  Pemberitahuan  Tahunan  Pajak  Penghasilan, Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan beberapa imbauan sebagai berikut:

1.  Bagi Pemberi Kerja/Bendaharawan

  • Bukti pemotongan 1721 A1/A2 merupakan dasar pengisian SPT PPh Tahunan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi serta penyediaan SPT Tahunan pre-populated. Oleh karena itu, Ditjen Pajak mengingatkan seluruh pemberi kerja dan bendaharawan agar melaksanakan pemotongan PPh Pasal 21, serta mengisi dan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21/26 Masa Desember 2017 (termasuk formulir 1721-I) secara benar dan tepat waktu.
  • Dengan mengisi bukti pemotongan secara benar dan melaporkannya tepat waktu, para pemberi  kerja  dan  bendaharawan  membantu  para  pegawai/karyawan  dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka sekaligus berpartisipasi dalam meningkatkan kepatuhan pajak nasional.

2.  Bagi Wajib Pajak Badan

a.  Tambahan Dokumen terkait Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015

  • Wajib Pajak yang yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan modalnya terbagi atas saham-saham serta memiliki utang dan mengurangkan biaya pinjaman dalam penghitungan penghasilan kena pajak wajib menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan.
  • Tambahan dokumen tersebut di atas tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha perbankan, pembiayaan, asuransi, infrastruktur, pertambangan tertentu, atau yang atas seluruh penghasilannya dikenai PPh yang bersifat final.
  • Wajib Pajak memiliki utang swasta luar negeri wajib menyampaikan laporan utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.
  • Ketentuan lengkap terkait penentuan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal dan tata cara pelaporan utang swasta luar negeri ini dapat dilihat pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2017.

b.  Tambahan Dokumen terkait Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016

  • Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa  harus  melampirkan  Ikhtisar  Dokumen  Induk  dan  Dokumen  Lokal,  dan Laporan per Negara dalam SPT Tahunan PPh Badan.
  • Tata cara pengelolaan dan pelaporan Laporan per Negara mengacu pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-29/PJ/2017.

c.   Penyampaian SPT Elektronik

  • Penyampaian SPT dalam bentuk dokumen elektronik mengikuti ketentuan PeraturanDirjen Pajak Nomor PER-01/PJ/2017.
  • Laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal, laporan utang swasta luar negeri, Ikhtisar Dokumen Induk dan Dokumen Lokal, serta tanda terima Laporan per Negara disampaikan sebagai bagian dari dokumen atau keterangan yang harus  dilampirkan dalam  SPT  Elektronik sebagai satu file  dengan format  Portable Document Format (PDF).

3.  Bagi Wajib Pajak Peserta Amnesti Pajak

  • Peserta amnesti yang menyatakan akan melakukan repatriasi aset memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan pengalihan dan realisasi investasi harta tambahan secara berkala setiap tahun selama tiga tahun.
  • Peserta amnesti yang mengungkapkan harta tambahan  yang  berada di  dalam  negeri memiliki kewajiban  untuk menyampaikan laporan  penempatan  harta  tambahan  secara berkala setiap tahun selama tiga tahun.
  • Batas waktu penyampaian laporan pengalihan dan realisasi investasi dan laporan penempatan harta tambahan mengikuti saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2017 untuk laporan tahun pertama, Tahun Pajak  2018 untuk laporan tahun kedua, dan Tahun Pajak 2019 untuk laporan tahun ketiga.
  • Ketentuan lengkap terkait tata cara pelaporan ini dapat dilihat pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-03/PJ/2017.

Bagi masyarakat/Wajib Pajak yang membutuhkan informasi lebih lanjut seputar perpajakan dan berbagai program dan layanan yang disediakan Ditjen Pajak, kunjungi www.pajak.go.id atau hubungi Kring Pajak di 1500 200. Penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan melalui layanan elektronik melalui sistem DJP Online pada  https://djponline.pajak.go.id.

#PajakKitaUntukKita

***

Informasi lebih lanjut hubungi:

Hestu Yoga Saksama

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat

Telp. 021 5250208

Sumber: pajak.go.id

Kejar Setoran, Dirjen Pajak Minta Kepala Kanwil Siaga 24 Jam

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteadi mengeluarkan instruksi yang ditujukan kepada seluruh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak agar siap siaga 24 jam dalam mengamankan penerimaan pajak. Instruksi ini menyusul realisasi setoran yang baru mencapai 59 persen sepanjang Januari-September 2017.

Dari informasi yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Senin (9/10/2017), Dirjen Pajak mengeluarkan instruksi nomor INS-05/PJ/2017 tentang Pengamanan Penerimaan Ditjen Pajak Tahun 2017.

Instruksi ini dikeluarkan di Jakarta pada 5 Oktober 2017 dan diteken Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi.

Dirjen Pajak dalam rangka kegiatan pengamanan penerimaan Ditjen Pajak Tahun 2017, dengan ini memberikan instruksi kepada para kepala kantor wilayah Ditjen Pajak untuk:

  1. Mengaktifkan selama 24 jam perangkat telepon genggam yang dilengkapi fitur panggilan video (video call), antara lain facetime, whatsapp video
  2. Dalam hal penggalian potensi penerimaan pajak, pemanggilan Wajib Pajak yang telah mengikuti program amnesti pajak hanya boleh dilakukan oleh kepala kantor wilayah Ditjen Pajak
  3. Melaksanakan instruksi Dirjen Pajak dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab.

“Instruksi ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan,” tulis instruksi Dirjen Pajak.

Dari data Ditjen Pajak, realisasi total setoran pajak di luar Pajak Penghasilan Minyak dan Gas (PPh Migas) atau pajak nonmigas sebesar Rp 732,1 triliun atau 59 persen hingga 30 September ini dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 sebesar Rp 1.241,8 triliun. Pencapaian tersebut tumbuh negatif 4,70 persen dibanding realisasi Januari-September tahun lalu.

Jika termasuk PPh Migas, total penerimaan Ditjen Pajak sebesar Rp 770,7 triliun atau 60 persen dari target APBN-P 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun. Sementara pertumbuhan setoran pajak termasuk PPh Migas di periode sampai akhir September ini terkontraksi 2,79 persen dibanding periode yang sama 2016.

Sumber: https://bisnis.liputan6.com/read/3122097/kejar-setoran-dirjen-pajak-minta-kepala-kanwil-siaga-24-jam

Pedoman Penilaian Harta Selain Kas yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18 Undang-undang Pengampunan Pajak dan Langkah-langkah Penilaiannya

Direktur Jenderal Pajak pada 22 September 2017 telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-24/PJ/2017 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Harta Selain Kas yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Dengan terbitnya Surat Edaran ini seluruh petugas pajak memiliki standar yang sama untuk melaksanakan penilaian harta dalam rangka menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017
tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan. Bagi Wajib Pajak, hadirnya standar penilaian ini memberikan kepastian serta menjamin prosedur penilaian yang objektif, sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya sengketa antara petugas pajak dengan Wajib Pajak.
Nilai atas beberapa jenis harta yang memiliki acuan nilai dari pemerintah atau yang dipublikasikan lembaga atau instansi terkait serta langkah-langkah penilaiannya adalah sebagai berikut:
No.

Nama Harta

Nilai Harta Yang Digunakan

Instansi/Lembaga Terkait

Langkah-langkah Penilaian

1. Tanah atau Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan Nilai Jual Objek Pajak sesuai SPPT Tahun 2015 Pemerintah Kabupaten/Kota

atau Pemerintah Provinsi untuk

Daerah Khusus Ibukota Jakarta

 

  1.  Mengidentifikasi Nomor Objek Pajak (NOP) atas tanah dan/atau bangunan;
  2. Mendapatkan informasi NJOP tahun 2015 atas NOP dimaksud dengan cara:
  • Memperoleh SPPT PBB tahun 2015 dari Wajib Pajak
  • Meminta salinan SPPT PBB tahun 2015 ke: Pemerintah Kabupaten/Kota dan Kantor Pelayanan Pajak dimana tanah dan/atau bangunan terdaftar
  • Memastikan kesesuaian luas tanah dan/atau bangunan dalam SPPT PBB tahun 2015 dengan luas tanah dan/atau bangunan yang sebenarnya
  • Dalam hal luas tanah dan/atau bangunan telah sesuai dengan luas tanah dan/atau bangunan dalam SPPT PBB tahun 2015, maka NJOP bumi dan/atau bangunan pada SPPT tersebut ditetapkan sebagai nilai harta; dan
  • Dalam hal luas tanah dan/atau bangunan tidak sesuai dengan luas tanah dan/atau bangunan dalam SPPT PBB tahun 2015, maka nilai harta merupakan hasil perkalian antara NJOP bumi/m2 dan/atau NJOP bangunan/m2 pada SPPT dengan luas tanah dan/atau bangunan objek penilaian

 

2. Tanah atau bangunan sektor  perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lainnya

 

Nilai Jual Objek Pajak  sesuai SPPT PBB tahun 2015

 

Ditjen Pajak Idem
3. Kendaraan bermotor Nilai Jual Kendaraan

Bermotor

 

Pemerintah Provinsi
  1. Melakukan identifikasi:
  • merek, tipe, tahun pembuatan, daya kuda, jenis konstruksi, fungsi, umur motor, dan isi kotor;
  • NJKB yang berlaku pada Tanggal Penilaian berdasarkan Peraturan Gubernur yang berlaku.
  • Dalam hal terdapat NJKB yang berlaku pada Tanggal Penilaian, maka NJKB ditetapkan sebagai nilai harta.
4. Emas atau perak Harga jual PT Aneka

Tambang

 

PT Aneka Tambang
  1. Melakukan identifikasi jenis, berat, dan kadar/karat. Nilai emas dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Emas = Berat (gram) x Karat/24 x Harga Emas/gram per tanggal penilaian
  2. Nilai perak dihitung dengan formula sebagai berikut: Nilai Perak = Berat (gram) x Karat/999 x Harga Perak/gram per tanggal penilaian
  3. Harga Emas dan Perak per Gram per 31 Desember 2015 serta Konversi Kadar dan Karat untuk Emas dan Perak yaitu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Harga Emas dan Perak mengacu pada harga jual PT. Aneka Tambang yang diunduh dari situs www.pusatdata.kontan.co.id.
5. Obligasi Pemerintah Republik Indonesia

 

Harga obligasi PT Penilai Harga Efek

Indonesia

 

  1. Melakukan identifikasi kode seri, tanggal jatuh tempo,dan nilai nominal.
  2. Dalam hal terdapat rasio harga per tanggal penilaian, nilai obligasi dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Obligasi = Nilai Nominal x Rasio Harga (%) per tanggal penilaian
  3. Dalam hal tidak terdapat rasio harga per tanggal penilaian, nilai obligasi dihitung dengan formula sebagai berikut : Nilai Obligasi = Nilai Nominal
  4. Rasio Harga tersebut merupakan perbandingan antara nilai pasar wajar dengan nilai nominal yang dinyatakan dalam persentase (%). Kode Seri, Tanggal Jatuh Tempo dan Rasio Harga Obligasi Pemerintah per 31 Desember 2015 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Rasio Harga Obligasi Pemerintah Indonesia mengacu pada data yang bersumber dari PT. Penilai Harga Efek Indonesia.
6. Saham perusahaan terbuka Harga per lembar

saham

 

PT Bursa Efek Indonesia
  1. Melakukan identifikasi kode saham, perusahaan penerbit, nilai nominal, dan jumlah kepemilikan saham
  2. Nilai saham dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Saham = Jumlah lembar x Harga Saham per lembar per tanggal penilaian
  3. Nama Perusahaan, Kode dan Harga Saham per Lembar per 31 Desember 2015 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Harga saham per lembar mengacu data pada PT. Bursa Efek Indonesia yang diunduh dari perangkat lunak penyedia data Bloomberg.
7. Obligasi Perusahaan (Corporate Bond) Harga obligasi PT Penilai Harga Efek

Indonesia

 

  1. Melakukan identifikasi kode seri, tanggal jatuh tempo, dan nilai nominal.
  2. Dalam hal terdapat Rasio Harga per tanggal 31 Desember 2015, nilai obligasi dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Obligasi = Nilai Nominal x Rasio Harga (%) per tanggal penilaian
  3. Dalam hal tidak terdapat Rasio Harga per tanggal penilaian, nilai obligasi dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Obligasi = Nilai Nominal
  4. Rasio Harga tersebut merupakan perbandingan antara nilai pasar wajar dengan nilai nominal yang dinyatakan dalam persentase (%).
    Kode Seri, Tanggal Jatuh Tempo dan Rasio Harga Obligasi Perusahaan per 31 Desember 2015 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Rasio Harga Obligasi Perusahaan mengacu pada data yang bersumber dari PT. Penilai Harga Efek Indonesia.
8. Reksadana Nilai aktiva bersih PT Bursa Efek Indonesia
  1. Melakukan identifikasi nama reksadana, manajer investasi, penerbit reksadana, dan jumlah unit kepemilikan reksadana.
  2. Nilai reksadana dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Reksadana = Jumlah Unit x Nilai Aktiva Bersih per unit per tanggal penilaian
  3. Nama Reksadana dan Nilai Aktiva Bersih per Unit Reksadana per 31 Desember 2015 sebagaimana dalam Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Nilai Aktiva Bersih per Unit Reksadana mengacu data pada PT. Bursa Efek Indonesia yang diunduh dari perangkat lunak penyedia data Bloomberg.
Untuk menghindari pemeriksaan pajak dalam rangka pelaksanaan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak, bagi Wajib Pajak yang masih memiliki harta yang diperoleh dari penghasilan yang belum dibayarkan pajaknya, dan harta tersebut belum dilaporkan dalam SPT PPh Tahunan
atau Surat Pernyataan dalam program amnesti pajak, dapat melakukan pembetulan SPT PPh Tahunan dengan melaporkan harta dan penghasilan serta pajak yang harus dibayar sesuai ketentuan yang berlaku.
Ditjen Pajak sendiri akan melaksanakan amanat UU Pengampunan Pajak serta PP Nomor 36 tahun 2017 secara profesional dengan mengedepankan semangat rekonsiliasi demi perbaikan kepatuhan pajak serta menjaga confidencedunia usaha dan iklim investasi.
Sumber : SE-24/PJ/2017 dan Siaran Pers Ditjen Pajak No. 33/2017