Laporkan SPT Tahunan Anda Secara Elektronik

Tidak terasa tahun pajak 2016 sudah berakhir. Bagi Wajib Pajak sudah harus mempersiapkan pelaporan SPT Tahunannya baik bagi Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan. Sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009, Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:

  1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak yang berarti untuk tahun pajak 2016 ini disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret 2017
  2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak yang berarti untuk tahun pajak 2016 disampaikan paling lambat tanggal 30 April 2017

Bahwa kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh wajib dilakukan oleh Wajib Pajak dengan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, dan jelas. Apabila kewajiban pelaporan SPT Tahunan tidak dilaksanakan tepat waktu sebagaimana Pasal 3 ayat (3) di atas maka sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda yaitu :

  1. Sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi
  2. sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan

Lebih lanjut, apabila Wajib Pajak dengan sengaja tidak melaporkan SPT Tahunannya dapat diancam sanksi pidana sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009, dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 23 Januari 2017 telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 01/PJ/2017 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Elektronik. Dalam peraturan tersebut Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT secara elektronik.

SPT Tahunan Elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang:

  1. Diwajibkan menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam bentuk dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
  2. Diwajibkan menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dalam bentuk dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan memiliki kewajiban untuk melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
  3. Sudah pernah menyampaikan SPT Tahunan Elektronik;
  4. Terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar;
  5. Menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan; dan/atau
  6. Laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik.

Disini karena posisi saya adalah sebagai Konsultan Pajak, maka sesuai ketentuan di point 5 tersebut maka seluruh klien saya atau Wajib Pajak yang saya berikan jasa konsultasi perpajakan, saya wajibkan untuk pelaporannya menggunakan elektronik.

Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Elektronik ke KPP dengan cara:

  1. Langsung;
  2. Dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat;
  3. Dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
  4. Melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. Saluran tertentu ini meliputi : laman Direktorat Jenderal Pajak (djponline.pajak.go.id), laman Penyalur SPT Elektronik;saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak tertentu; jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; dan saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Wajib Pajak harus melampirkan keterangan dan/atau dokumen yang disyaratkan dalam SPT Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dengan cara:

  1. Menyampaikan dalam format Portable Document Format (PDF) dalam satu file, dalam hal SPT Elektronik disampaikan secara langsung, melalui pos, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi/kurir; atau
  2. Mengunggah, dalam hal SPT Elektronik disampaikan melalui saluran tertentu tersebut di atas

Atas penyampaian SPT Elektronik, KPP melakukan penelitian kelengkapan penyampaian SPT Elektronik dengan mengisi lembar penelitian seperti lampiran PerDirJen ini.

Mari kita sampaikan SPT Tahunan kita tepat waktu agar terhindar dari sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana serta dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak yang ada di Indonesia.

Salam Sukses!

KMS Pico   

 

Ingat! Ada Kewajiban Pasca Mengikuti Tax Amnesty

Bagi Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pernyataan Harta beserta lampirannya sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dan telah diberikan Tanda Terima Surat Pernyataan serta telah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP, tentunya Wajib Pajak dapat bernafas dengan lega karena Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa:

a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atas kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir,

 

Namun, Wajib Pajak yang sudah merasa lega karena sudah memperoleh fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) UU No. 11 Tahun 2016 junto Pasal 23 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 2016 wajib mengetahui ketentuan dalam Pasal 38 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 2016 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2016 bahwa Wajib Pajak harus menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang memuat:

  1. Realisasi pengalihan dan investasi Harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan dengan syarat laporan disampaikan secara berkala setiap tahun selama 3 (tiga) tahun sejak pengalihan Harta, laporan disampaikan paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan laporan disampaikan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.
  2. Penempatan Harta tambahan yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan dengan syarat laporan disampaikan secara berkala setiap tahun selama 3 (tiga) tahun sejak pengalihan Harta, laporan disampaikan paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan laporan disampaikan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

Bahwa apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban sesuai Pasal 38 di atas maka akan diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 2016 yaitu:

  1. Terhadap Harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan atas penghasilan dimaksud dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan dan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  2. Uang Tebusan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak diperhitungkan sebagai pengurang pajak sebagaimana dimaksud pada point 1.

Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan aturan pelaksanaan dalam rangka pelaporan dan pengawasan harta tambahan tersebut di atas sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2017 tanggal 29 Maret 2017 tentang TATA CARA PELAPORAN DAN PENGAWASAN HARTA TAMBAHAN DALAM RANGKA PENGAMPUNAN PAJAK.

Penyampaian laporan sesuai dengan PERDIRJEN tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. ditandatangani oleh:
    1. Wajib Pajak orang pribadi dan tidak dapat dikuasakan;
    2. pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen lain yang dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan;
    3. penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi sebagaimana dimaksud pada angka 2 berhalangan.
  2. mencantumkan informasi Harta tambahan.
  3. disampaikan oleh Wajib Pajak atau kuasa yang ditunjuk dengan melampirkan surat kuasa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pengampunan Pajak;
  4. disampaikan dalam bentuk:
    1. formulir kertas (hardcopy) dan salinan digital (softcopy), dalam hal disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara langsung; atau
    2. dokumen elektronik, dalam hal disampaikan melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.

Khusus untuk pelaporan elektronik, aplikasi untuk saluran sampai dengan tanggal 2 April 2017 belum tersedia.

Laporan disampaikan paling lambat:

  1. pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2017, untuk penyampaian laporan tahun pertama dimana artinya laporan yang disampaikan paling lambat pertama kali adalah 31 Maret 2018
  2. pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2018 dan seterusnya, untuk penyampaian laporan tahun kedua dan seterusnya.

 

Kepastian Hukum Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa Wajib Pajak

Direktur Jenderal Pajak pada tanggal 31 Januari 2017 telah menerbitkan Surat Edaran Nomor  SE – 02/PJ/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan No. 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa. Dengan adanya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini maka dapat digunakan sebagai acuan yang dapat memberikan kemudahan, kejelasan dan kepastian hukum mengenai persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa baik bagi pegawai pajak, wajib pajak dan kuasa dalam hal ini Konsultan Pajak atau Karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan No. 229/PMK.03/2014.

Dalam Surat Edaran tersebut, memberikan kepastian hukum atas ketentuan pemberian kuasa dengan menggunakan surat kuasa khusus dari Wajib Pajak kepada Kuasanya untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu berupa:

1) Pengisian, penandatanganan, dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau SPT pembetulan yang tidak melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak (e-SPT);
2) Permohonan pengangsuran pembayaran pajak dan/atau proses penyelesaiannya;
3) Permohonan penundaan pembayaran pajak dan/atau proses penyelesaiannya;
4) Permohonan pemindahbukuan dan/atau proses penyelesaiannya;
5) Permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak bagi Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu dan/atau proses penyelesaiannya;
6) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau proses penyelesaiannya;
7) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak kriteria tertentu atau Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan/atau proses penyelesaiannya;
8) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dan/atau proses penyelesaiannya;
9) Pelaksanaan pemeriksaan;
10) Permohonan pembetulan dan/atau proses penyelesaiannya;
11) Pengajuan keberatan dan/atau proses penyelesaiannya;
12) Permintaan penjelasan untuk pengajuan keberatan dan/atau banding;
13) Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan/atau proses penyelesaiannya, termasuk terhadap sanksi administrasi atas surat ketetapan pajak Pajak Bumi (PBB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) PBB;
14) Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dan/atau proses penyelesaiannya;
15) Permohonan pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar dan/atau proses penyelesaiannya;
16) Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) PBB, yang tidak benar dan/atau proses penyelesaiannya;
17) Permohonan pengurangan PBB terutang dan/atau proses penyelesaiannya;
18) Permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan dan/atau proses penyelesaiannya;
19) Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka;
20) Permohonan untuk memperoleh fasilitas perpajakan dan/atau proses penyelesaiannya;
21) Permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure);
22) Permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) dan/atau proses penyelesaiannya;
23) Permohonan kode aktivasi dan password dalam rangka permintaan nomor seri Faktur Pajak;
24) Pemberian tanggapan Wajib Pajak terhadap permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan;
25) Menerima pemberitahuan Surat Paksa; dan
26) Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu lainnya yang berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat dikuasakan.

 

Point penting dalam pemberian kuasa ini yaitu saat penyampaian surat kuasa khusus harus dilakukan pada :

  • sebelum pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan; atau
  • bersamaan dengan pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan.
  • dalam hal surat kuasa khusus tidak disampaikan pada waktu sebagaimana tersebut di atas, seseorang yang diberikan kuasa oleh Wajib Pajak dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak pemberi kuasa

Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan setelah dikuasakan:

  1. Pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang telah dikuasakan oleh Wajib Pajak kepada seorang kuasa dilakukan oleh seorang kuasa tersebut.
  2. Dalam hal Wajib Pajak berkehendak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri maka Wajib Pajak harus mencabut terlebih dahulu kuasa yang telah diberikan kepada seorang kuasa.
  3. Pencabutan kuasa yang telah diberikan kepada seorang kuasa harus dilakukan dengan menyampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakannya dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak.
  4. Pencabutan kuasa berlaku sejak tanggal surat pencabutan kuasa diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dan tidak berlaku surut.

Berdasarkan hal tersebut di atas, diharapkan kedepannya pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan No. 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa diharapkan tidak ada lagi perbedaan persepsi antara pegawai pajak dengan wajib pajak dan/atau kuasa yang ditunjuk dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Salam Sukses!

Aturan Baru Pajak Penghasilan Penjualan Tanah dan/atau Bangunan

Sejak bulan September 2016, Pemerintah Jokowi telah merevisi aturan Pajak Penghasilan atas penjualan tanah dan atau bangunan. Selain menurunkan tarif, aturan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016 ini mengubah dasar pengenaan dan subjek pembayar pajak. Tarif turun dari semula 5% menjadi hanya 2,5% saja. Dan subjek yang wajib menggunakan peraturan pemerintah ini bukan hanya penjual tanah dan atau bangunan yang mengurus sertifikat hak milik tetapi mereka yang memang jualan tanah dan atau bangunan.
Menurut informasi yang beredar di media, penurunan tarif PPh dilakukan dalam rangka mendorong investasi real estat dan pasar modal. Jadi peraturan pemerintah ini bagian dari insentif perpajakan untuk mendorong pasar properti.

Tarif baru diatur di Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016, yaitu:

  • 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
  • 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;atau
  • 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Menarik diperhatikan bahwa atas penjualan tanah untuk kepentingan umum adalah 0%. Ini artinya bebas PPh sama sekali. Jika tidak disebut tarif 0% ada yang berpendapat perlakukan perpajakan kembali ke ketentuan umum.
Selain itu, pembebasan lahan yang menikmati tarif 0% tidak hanya pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi termasuk pembebasan lahan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Syaratnya ada penugasan khusus dari Pemerintah atau kepala daerah untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Hal yang baru lagi dalam peraturan pemerintah ini adalah nilai pengalihan. Dalam peraturan pemerintah sebelumnya (Peraturan Pemerintah nomor 48) nilai pengalihan adalah nilai tertinggi antara NJOP dan nilai akta. Hal ini diatur di Pasal 4 ayat (2)

Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan 

Aturan ini memiliki kelemahan karena pada kenyataannya nilai penjualan tanah atau nilai pasar tanah hampir semua diatas NJOP. Bahkan ada yang berlipat-lipat dari NJOP. Begitu juga dengan nilai akta, pada kenyataannya sering disamakan dengan nilai NJOP. Walaupun dinaikkan dari NJOP tetapi sekedarnya. Jadi, nilai yang dimaksud tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

Sedangkan di peraturan pemerintah yang baru, nilai pengalihan adalah nilai sebenarnya atau nilai wajar. Hal ini diatur di Pasal 2 ayat (2) dan (3) :

Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

  1. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah;
  2. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
  3. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
  4. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;atau
  5. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak. 
Nah, supaya tidak kecolongan lagi, peraturan pemerintah ini memberikan dasar hukum dilakukannya penelitian surat setoran pajak atau bukti pembayaran pajak lainnya. Ketentuan dimaksud dicantumkan di Pasal 3 ayat (5) :

Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.

Kewajiban validasi SSP tidak hanya berlaku bagi yang berurusan dengan sertifikat tanah. Penjual yang hanya “mengikatkan” dengan PPJB pun berlaku validasi. Hal ini diatur di Pasal 5 ayat (2) :

Pihak penjual hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli apabila kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan, yang telah dilakukan penelitian oleh Kantor Pelayanan Pajak.

Dengan demikian, peraturan pemerintah ini mengikat bagi:
  • konsumen akhir (berkepentingan dengan sertifikat kepemilikan tanah sebagai bukti kepemilikan);
  • perantara atau pedagang seperti: agen properti, investor properti, atau pengembang (biasanya mereka tidak butuh sertifikat kepemilikan karena tujuan beli untuk dijual kembali sehingga dokumen yang digunakan sering PPJB saja).
Termasuk pengembang yang dituju oleh peraturan pemerintah ini adalah pengembang kecil yang bekerja sama dengan pemilik tanah. Misal tanah punya tuan Adi sedangkan yang membangun dan menjual rumah tuan Budi. Nah, kasus seperti ini di lapangan sering membingunkan siapa yang bayar PPh Final pengalihan tanah dan/atau bangunan, apakah tuan Adi atau Budi.
Turunan dari peraturan pemerintah ini akan dibuatkan peraturan menteri keuangan. Namun sampai dengan tulisan ini dibuat, nampaknya belum selesai.
Sumber