Kejar Setoran, Dirjen Pajak Minta Kepala Kanwil Siaga 24 Jam

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiasteadi mengeluarkan instruksi yang ditujukan kepada seluruh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak agar siap siaga 24 jam dalam mengamankan penerimaan pajak. Instruksi ini menyusul realisasi setoran yang baru mencapai 59 persen sepanjang Januari-September 2017.

Dari informasi yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Senin (9/10/2017), Dirjen Pajak mengeluarkan instruksi nomor INS-05/PJ/2017 tentang Pengamanan Penerimaan Ditjen Pajak Tahun 2017.

Instruksi ini dikeluarkan di Jakarta pada 5 Oktober 2017 dan diteken Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi.

Dirjen Pajak dalam rangka kegiatan pengamanan penerimaan Ditjen Pajak Tahun 2017, dengan ini memberikan instruksi kepada para kepala kantor wilayah Ditjen Pajak untuk:

  1. Mengaktifkan selama 24 jam perangkat telepon genggam yang dilengkapi fitur panggilan video (video call), antara lain facetime, whatsapp video
  2. Dalam hal penggalian potensi penerimaan pajak, pemanggilan Wajib Pajak yang telah mengikuti program amnesti pajak hanya boleh dilakukan oleh kepala kantor wilayah Ditjen Pajak
  3. Melaksanakan instruksi Dirjen Pajak dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab.

“Instruksi ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan,” tulis instruksi Dirjen Pajak.

Dari data Ditjen Pajak, realisasi total setoran pajak di luar Pajak Penghasilan Minyak dan Gas (PPh Migas) atau pajak nonmigas sebesar Rp 732,1 triliun atau 59 persen hingga 30 September ini dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 sebesar Rp 1.241,8 triliun. Pencapaian tersebut tumbuh negatif 4,70 persen dibanding realisasi Januari-September tahun lalu.

Jika termasuk PPh Migas, total penerimaan Ditjen Pajak sebesar Rp 770,7 triliun atau 60 persen dari target APBN-P 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun. Sementara pertumbuhan setoran pajak termasuk PPh Migas di periode sampai akhir September ini terkontraksi 2,79 persen dibanding periode yang sama 2016.

Sumber: https://bisnis.liputan6.com/read/3122097/kejar-setoran-dirjen-pajak-minta-kepala-kanwil-siaga-24-jam

Pedoman Penilaian Harta Selain Kas yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18 Undang-undang Pengampunan Pajak dan Langkah-langkah Penilaiannya

Direktur Jenderal Pajak pada 22 September 2017 telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-24/PJ/2017 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Harta Selain Kas yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Dengan terbitnya Surat Edaran ini seluruh petugas pajak memiliki standar yang sama untuk melaksanakan penilaian harta dalam rangka menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017
tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan. Bagi Wajib Pajak, hadirnya standar penilaian ini memberikan kepastian serta menjamin prosedur penilaian yang objektif, sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya sengketa antara petugas pajak dengan Wajib Pajak.
Nilai atas beberapa jenis harta yang memiliki acuan nilai dari pemerintah atau yang dipublikasikan lembaga atau instansi terkait serta langkah-langkah penilaiannya adalah sebagai berikut:
No.

Nama Harta

Nilai Harta Yang Digunakan

Instansi/Lembaga Terkait

Langkah-langkah Penilaian

1. Tanah atau Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan Nilai Jual Objek Pajak sesuai SPPT Tahun 2015 Pemerintah Kabupaten/Kota

atau Pemerintah Provinsi untuk

Daerah Khusus Ibukota Jakarta

 

  1.  Mengidentifikasi Nomor Objek Pajak (NOP) atas tanah dan/atau bangunan;
  2. Mendapatkan informasi NJOP tahun 2015 atas NOP dimaksud dengan cara:
  • Memperoleh SPPT PBB tahun 2015 dari Wajib Pajak
  • Meminta salinan SPPT PBB tahun 2015 ke: Pemerintah Kabupaten/Kota dan Kantor Pelayanan Pajak dimana tanah dan/atau bangunan terdaftar
  • Memastikan kesesuaian luas tanah dan/atau bangunan dalam SPPT PBB tahun 2015 dengan luas tanah dan/atau bangunan yang sebenarnya
  • Dalam hal luas tanah dan/atau bangunan telah sesuai dengan luas tanah dan/atau bangunan dalam SPPT PBB tahun 2015, maka NJOP bumi dan/atau bangunan pada SPPT tersebut ditetapkan sebagai nilai harta; dan
  • Dalam hal luas tanah dan/atau bangunan tidak sesuai dengan luas tanah dan/atau bangunan dalam SPPT PBB tahun 2015, maka nilai harta merupakan hasil perkalian antara NJOP bumi/m2 dan/atau NJOP bangunan/m2 pada SPPT dengan luas tanah dan/atau bangunan objek penilaian

 

2. Tanah atau bangunan sektor  perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lainnya

 

Nilai Jual Objek Pajak  sesuai SPPT PBB tahun 2015

 

Ditjen Pajak Idem
3. Kendaraan bermotor Nilai Jual Kendaraan

Bermotor

 

Pemerintah Provinsi
  1. Melakukan identifikasi:
  • merek, tipe, tahun pembuatan, daya kuda, jenis konstruksi, fungsi, umur motor, dan isi kotor;
  • NJKB yang berlaku pada Tanggal Penilaian berdasarkan Peraturan Gubernur yang berlaku.
  • Dalam hal terdapat NJKB yang berlaku pada Tanggal Penilaian, maka NJKB ditetapkan sebagai nilai harta.
4. Emas atau perak Harga jual PT Aneka

Tambang

 

PT Aneka Tambang
  1. Melakukan identifikasi jenis, berat, dan kadar/karat. Nilai emas dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Emas = Berat (gram) x Karat/24 x Harga Emas/gram per tanggal penilaian
  2. Nilai perak dihitung dengan formula sebagai berikut: Nilai Perak = Berat (gram) x Karat/999 x Harga Perak/gram per tanggal penilaian
  3. Harga Emas dan Perak per Gram per 31 Desember 2015 serta Konversi Kadar dan Karat untuk Emas dan Perak yaitu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Harga Emas dan Perak mengacu pada harga jual PT. Aneka Tambang yang diunduh dari situs www.pusatdata.kontan.co.id.
5. Obligasi Pemerintah Republik Indonesia

 

Harga obligasi PT Penilai Harga Efek

Indonesia

 

  1. Melakukan identifikasi kode seri, tanggal jatuh tempo,dan nilai nominal.
  2. Dalam hal terdapat rasio harga per tanggal penilaian, nilai obligasi dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Obligasi = Nilai Nominal x Rasio Harga (%) per tanggal penilaian
  3. Dalam hal tidak terdapat rasio harga per tanggal penilaian, nilai obligasi dihitung dengan formula sebagai berikut : Nilai Obligasi = Nilai Nominal
  4. Rasio Harga tersebut merupakan perbandingan antara nilai pasar wajar dengan nilai nominal yang dinyatakan dalam persentase (%). Kode Seri, Tanggal Jatuh Tempo dan Rasio Harga Obligasi Pemerintah per 31 Desember 2015 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Rasio Harga Obligasi Pemerintah Indonesia mengacu pada data yang bersumber dari PT. Penilai Harga Efek Indonesia.
6. Saham perusahaan terbuka Harga per lembar

saham

 

PT Bursa Efek Indonesia
  1. Melakukan identifikasi kode saham, perusahaan penerbit, nilai nominal, dan jumlah kepemilikan saham
  2. Nilai saham dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Saham = Jumlah lembar x Harga Saham per lembar per tanggal penilaian
  3. Nama Perusahaan, Kode dan Harga Saham per Lembar per 31 Desember 2015 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Harga saham per lembar mengacu data pada PT. Bursa Efek Indonesia yang diunduh dari perangkat lunak penyedia data Bloomberg.
7. Obligasi Perusahaan (Corporate Bond) Harga obligasi PT Penilai Harga Efek

Indonesia

 

  1. Melakukan identifikasi kode seri, tanggal jatuh tempo, dan nilai nominal.
  2. Dalam hal terdapat Rasio Harga per tanggal 31 Desember 2015, nilai obligasi dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Obligasi = Nilai Nominal x Rasio Harga (%) per tanggal penilaian
  3. Dalam hal tidak terdapat Rasio Harga per tanggal penilaian, nilai obligasi dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Obligasi = Nilai Nominal
  4. Rasio Harga tersebut merupakan perbandingan antara nilai pasar wajar dengan nilai nominal yang dinyatakan dalam persentase (%).
    Kode Seri, Tanggal Jatuh Tempo dan Rasio Harga Obligasi Perusahaan per 31 Desember 2015 sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Rasio Harga Obligasi Perusahaan mengacu pada data yang bersumber dari PT. Penilai Harga Efek Indonesia.
8. Reksadana Nilai aktiva bersih PT Bursa Efek Indonesia
  1. Melakukan identifikasi nama reksadana, manajer investasi, penerbit reksadana, dan jumlah unit kepemilikan reksadana.
  2. Nilai reksadana dihitung dengan formula sebagai berikut:Nilai Reksadana = Jumlah Unit x Nilai Aktiva Bersih per unit per tanggal penilaian
  3. Nama Reksadana dan Nilai Aktiva Bersih per Unit Reksadana per 31 Desember 2015 sebagaimana dalam Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Nilai Aktiva Bersih per Unit Reksadana mengacu data pada PT. Bursa Efek Indonesia yang diunduh dari perangkat lunak penyedia data Bloomberg.
Untuk menghindari pemeriksaan pajak dalam rangka pelaksanaan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak, bagi Wajib Pajak yang masih memiliki harta yang diperoleh dari penghasilan yang belum dibayarkan pajaknya, dan harta tersebut belum dilaporkan dalam SPT PPh Tahunan
atau Surat Pernyataan dalam program amnesti pajak, dapat melakukan pembetulan SPT PPh Tahunan dengan melaporkan harta dan penghasilan serta pajak yang harus dibayar sesuai ketentuan yang berlaku.
Ditjen Pajak sendiri akan melaksanakan amanat UU Pengampunan Pajak serta PP Nomor 36 tahun 2017 secara profesional dengan mengedepankan semangat rekonsiliasi demi perbaikan kepatuhan pajak serta menjaga confidencedunia usaha dan iklim investasi.
Sumber : SE-24/PJ/2017 dan Siaran Pers Ditjen Pajak No. 33/2017

Ditjen Pajak Tidak Menilai Ulang Harta dalam Surat Pernyataan Harta Pengampunan Pajak

Seperti diberitakan oleh media online KontanMobile pada hari Sabtu tanggal 30 September 2017 pukul 16:51 melalui portal kontan.co.id, Ditjen Pajak tidak menilai ulang harta dalam Surat Pernyataan Harta dalam Pengampunan Pajak. Beritanya dapat dibaca di sini

Berikut ini beritanya:

Direktur Pelayanan dan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menyampaikan tanggapan terkait opini Effnu Subiyanto, Advisor Cikalafa-Umbrella, Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor) terkait perhitungan basis perpajakan.

Sebelumnya, opini Effnu tercantum dalam tulisan analisis berjudul: Ironi wajib pajak pasca-amnesti pajak

Berikut tanggapan Hestu Yoga:

Perlu diluruskan bahwa harta bersih yang menjadi objek pengenaan PPh dalam PP 36 adalah harta bersih yang tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan dan wajib pajak tidak ikut amnesti pajak, atau wajib pajak ikut amnesti pajak tetapi terdapat harta yang tidak diungkapkan dalam amnesti pajak.

Sepertinya, Saudara Effnu Subiyanto tidak membaca dan memahami dengan baik PP Nomor 36 Tahun 2017, sehingga opininya tidak tepat. Dalam opininya, disebutkan bahwa para wajib pajak (WP) yang patuh kini menjadi serba salah:

(Para wajib pajak yang patuh tersebut kini menjadi serba salah, mengapa dalam PP 36/2017 justru berbeda drastis lantaran nanti nilai harta bersih berdasarkan temuan dan pemeriksaan aparat pajak secara sepihak. Sangat mungkin sekali terjadi asumsi basis perhitungan pajak, nilai harta bersih, deklarasi harta lokal dan di luar negeri akan berbeda. Alhasil, wajib pajak berpotensi kurang pajak dan dikenai sanksi denda. Pada PP tersebut jika alpa melaporkan harta yang sebenarnya maka bagi wajib pajak pribadi akan dikenai 30% sementara wajib pajak badan 25% atas temuan baru itu.)

Ketentuan ini tidak berlaku bagi harta yang memang sudah diungkapkan/dilaporkan dalam Surat Pernyataan (SPH) amnesti pajak. Data dalam SPH yang sudah ada di kantor pajak tidak akan dinilai ulang berdasarkan penilaian Ditjen Pajak dengan Pasal 5 ayat (2).

Dengan demikian, nilai harta berdasarkan penilaian Ditjen Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, dan lebih lanjut ditegaskan pedoman teknis penilaiannya dalam SE 24/2017 kemarin, tidak berlaku untuk harta yang telah dilaporkan dalam amnesti pajak.

Lalu, bagaimana Ditjen Pajak menjamin bahwa tidak ada penilaian ulang dari SPH amnesti pajak? Kami pastikan tidak akan dinilai ulang. Mewakili institusi, secara resmi saya sampaikan, berdasarkan peraturan yang ada, termasuk PP 36 tadi, Ditjen Pajak tidak akan menilai ulang nilai harta dalam SPH.

Tidak ada ketentuan yang memungkinkan Ditjen Pajak untuk menilai ulang nilai harta dalam SPH. Dari ketentuan yang ada, yaitu Perdirjen Nomor 14/PJ/2017, yang mungkin terjadi hanya Pembetulan Surat Keterangan (SKet), baik atas permohonan wajib pajak ataupun secara jabatan oleh Ditjen Pajak, tetapi hanya dalam hal terjadi salah tulis atau salah hitung. Itu tentu tidak dalam konteks menilai kembali harta bersih seperti itu.

Perdirjen 14/2017 itu memiliki kaitan dengan Pasal 2 ayat (2) huruf b dalam PP 36, yaitu: Harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan termasuk harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai harta berdasarkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan. Pasal tersebut juga mengacu ke Pasal 13 dan Pasal 18 UU amnesti pajak.

Dalam PP 36 tersebut juga sangat jelas bahwa harta bersih yang dimaksud adalah harta bersih yang tidak diikutkan dalam amnesti pajak. Adapun ketentuan yang ada Pasal 5 ayat (2) merupakan bagian dari PP itu sehingga tidak bisa ditafsirkan lain. PP ini juga memiliki prioritasnya, terutama wajib pajak yang tidak ikut amnesti pajak.

Sumber : https://m.kontan.co.id/news/djp-tidak-menilai-ulang-nilai-harta-dalam-sph (diakses jam 09.22 tanggal 1 Oktober 2017)

Surat Keterangan Pengampunan Pajak Anda Ada Kesalahan? Lakukan Permohonan Pembetulan!

Male hand pointing at business document while explaining it

Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2017 tentang TATA CARA PEMBETULAN ATAS SURAT KETERANGAN PENGAMPUNAN PAJAK. Peraturan ini tentunya angin segar bagi wajib pajak yang pada periode program Pengampunan Pajak telah aktif turut serta berpartisipasi mengikuti program pengampunan pajak. Peraturan ini tentunya mengakomodir bagi wajib pajak yang sudah ikut Program Pengampunan Pajak, namun atas pengungkapan hartanya dalam SPH dan Surat keterangan terdapat kesalahan tulis maupun kesalahan hitung.

Peraturan ini memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk melakukan permohonan pembetulan atas Surat keterangan yang terdapat kesalahan tulis maupun kesalahan hitung. Berdasarkan Pasal 2 PerDirjen ini, Surat Keterangan Pengampunan Pajak dapat dilakukan pembetulan atas dasar:

  1. Permohonan Wajib Pajak
  2. Secara jabatan

Pembetulan Surat keterangan tersebut dilakukan dalam hal terdapat kesalahan tulis maupun kesalahan hitung. Kesalahan tulis dapat dilakukan pembetulan merupakan kesalahan yang tidak mempengaruhi jenis Harta, nilai Harta, nilai Utang, dan/atau nilai Harta bersih. Termasuk kesalahan tulis adalah perubahan pengungkapan Harta dari semula Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (repatriasi) menjadi Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (deklarasi dalam negeri), yang diajukan oleh Wajib Pajak yang telah mengalihkan harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah tanggal 31 Desember 2015 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016.

Kesalahan hitung meliputi kesalahan:

  1. penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan;
  2. penerapan tarif; dan/atau
  3. perhitungan nilai Utang karena adanya kesalahan penerapan batasan nilai Utang yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta dan hanya atas Utang yang dokumen pendukungnya telah dilampirkan dalam Surat Pernyataan.

Permohonan Wajib Pajak  disampaikan melalui KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. diajukan kepada Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar;
  2. ditandatangani oleh Wajib Pajak orang pribadi dan tidak dapat dikuasakan, pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen lain yang  dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan, atau penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi berhalangan
  3. disampaikan oleh Wajib Pajak atau penerima kuasa Wajib Pajak dengan cara datang langsung ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar
  4. dilampiri surat kuasa yang sesuai dengan ketentuan sebagaimana  diatur  dalam  Kitab  Undang-Undang Hukum Perdata dalam hal Surat permohonan pembetulan ditandatangani oleh penerima kuasa dan Wajib Pajak tidak dapat menyampaikan secara langsung surat permohonan pembetulan

Surat Pembetulan dikirimkan kepada Wajib Pajak melalui:

  1. pos dengan bukti pengiriman surat
  2. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat

Berdasarkan uraian tersebut di atas, bagi anda yang merasa dalam Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang telah diterima dari Kantor Wilayah DJP tempat masing-masing terdaftar terdapat kesalahan tulis dan kesalahan hitung sesuai dengan kreteria sebagaimana diuraikan di atas, dapat mengajukan permohonan untuk melakukan pembetulan Surat keterangan terdaftar. Format baku surat permohonan pembetulan terdapat pada lampiran Perdirjen tersebut.

Semoga bermanfaat.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 sebagai Tindak Lanjut dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2017 Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan pada tanggal 6 September 2017. Terbitnya Peraturan Pemerintah ini untukmemberikan kepastian hukum dan kesederhanaan terkait pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final atas penghasilan tertentu, yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pemerintah menunjukkan konsistensi kebijakan dan memberikan kepastian hukum yang menjamin hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak serta kewenangan Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan amanat Pasal 13 dan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak.

Program Pengampunan Pajak telah berakhir pada tanggal 31 Maret 2017, namun terdapat konsekuensi lanjutan bagi Wajib Pajak dalam kategori di bawah ini:

Dengan adanya PP ini, maka pemerintah menunjukkan konsistensi kebijakan dan memberikan kepastian hukum yang menjamin hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak serta kewenangan Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan amanat Pasal 13 dan Pasal 18 UU Pengampunan Pajak. Selain itu PP ini memberikan rasa keadilan bagi WP yang sudah melaksanakan kewajiban perpajakan selama ini dengan benar, termasuk bagi para peserta program Amnesti Pajak, melalui pemerataan beban pajak kepada WP yang belum melaksanakan kewajiban pajak dengan benar namun tidak mengikuti program amnesti pajak.

Sesuai semangat rekonsiliasi dan sejalan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016, PP ini tidak berlaku bagi masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau memiliki penghasilan dari warisan dan/atau hibah yang sudah dilaporkan dalam SPT pewaris dan/atau pemberi hibah.

Adapun Wajib Pajak yang dikecualikan dari Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam PerDirJen Pajak Nomor 11/PJ/2016 adalah sebagai berikut:

Objek dan dasar pengenaan pajak adalah harta yang dianggap sebagai tambahan penghasilan. Berikut ini adalah objek dan dasar pengenaan pajak yang dikenakan Pajak  berdasarkan Peraturan Pemerintah ini:

Saat terutangnya adalah sebagai berikut:

Tarif pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah ini adalah bersifat Final. Tarif Pajaknya adalah sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan Wajib Pajak tertentu baik Badan maupun OP dalam Peraturan Pemerintah ini yang memperoleh fasilitas tarif lebih ringan adalah sebagai berikut:

Dengan terbitnya PP ini, Ditjen Pajak mengimbau masyarakat agar apabila masih terdapat harta yang diperoleh dari penghasilan yang belum dibayarkan pajaknya, dan harta tersebut belum dilaporkan dalam SPT Tahunan dan wajib pajak tidak mengikuti program amnesti pajak, maka selama belum dilakukan pemeriksaan, wajib pajak masih dapat melakukan pembetulan SPT dengan melaporkan harta tersebut serta penghasilan dan pajak yang harus dibayar.


Ditjen Pajak juga mengimbau masyarakat agar tidak khawatir karena Ditjen Pajak akan menerapkan PP ini secara profesional dengan mengedepankan semangat rekonsiliasi dan perbaikan kepatuhan pajak sambil tetap menjaga
confidence dunia usaha dan iklim investasi.

 

Sumber:

  1. Siaran Pers Ditjen Pajak RI tentang PP 36 Tahun 2017 Nomor 32/2017 tanggal 20 September 2017
  2. Materi PPT Siaran Pers Ditjen Pajak RI
  3. PP 36 Tahun 2017

 

Pengawasan Wajib Pajak Pasca Periode Pengampunan Pajak

Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-20/PJ/2017 tanggal 24 Agustus 2017 tentang Pengawasan Wajib Pajak Pasca Periode Pengampunan Pajak. Penerbitan SE ini sehubungan dengan telah berakhirnya program Pengampunan Pajak dan untuk memastikan kepatuhan Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak, perlu dilakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak.

Pengawasan dilakukan atas Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak maupun yang mengikuti Pengampunan Pajak dengan menerbitkan Lembar Pengawasan. Pengawasan terhadap Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak dilakukan dengan dukungan data dan/atau Informasi internal maupun eksternal pada sistem informasi.

Adapun pengawasan WP pasca Pengampunan Pajak dapat digambarkan sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

Adapun pihak-pihak yang berperan dalam pengawasan WP tersebut antara lain:

  1. Account Representative Seksi Pengawasan dan Konsultasi II/III/IV (SE-20/PJ/2017)
  2. Account Representative / Pelaksana Seksi Ekstensifikasi & Penyuluhan (SE-20/PJ/2017)
  3. Fungsional / Petugas Pemeriksa Pajak (SE-10/PJ/2017 dan SE-11/PJ/2017)

Kebijakan Umum

Pengawasan Wajib Pajak pasca periode Pengampunan Pajak dilakukan melalui:

  1. Pengawasan dalam rangka Pengampunan Pajak; dan
  2. Pengawasan secara umum.

Pengawasan dalam rangka Pengampunan Pajak dilakukan terhadap:

  1. Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak atas ketidaksesuaian  data dan/atau informasi mengenai Harta berdasarkan data eksternal dan/atau  data internal yang disediakan oleh sistem informasi; dan
  2. Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak atas:
    • Pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak untuk masa/tahun pajak setelah Tahun Pajak Terakhir; dan
    • Ketidaksesuaian data dan/atau informasi mengenai Harta yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan selain ketidaksesuaian karena adanya perbedaan nilai, pelunasan uang tebusan dan Laporan Wajib Pajak.

Prioritas pengawasan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak dilakukan terlebih dahulu terhadap:

  • Ketidaksesuaian data dan/atau informasi mengenai Harta, bagi Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak dan
  • Pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak untuk masa/tahun pajak setelah Tahun Pajak Terakhir, bagi Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak

Pengawasan secara umum dilakukan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak selain yang telah dilakukan pengawasan dalam rangka Pengampunan Pajak, yaitu antara lain:

  • Bagi Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak, dilakukan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan untuk masa/tahun pajak atas seluruh jenis pajak dengan memperhatikan daluwarsa penetapan
  • Bagi Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dilakukan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan atas seluruh jenis pajak untuk masa/tahun pajak setelah Tahun Pajak Terakhir

 

Tidak Ikut Tax Amnesty, Ada Harta yang Belum Dilaporkan di SPT. Apa yang Harus Dilakukan?

Seperti kita ketahui, Program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty sudah berakhir tanggal 31 Maret 2017. Peluang untuk mengikuti Tax Amnesty untuk memperoleh fasilitas pengampunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 sudah tertutup. Berdasarkan  data Ditjen Pajak di sini, hingga tahun 2015, Wajib Pajak (WP) yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai 30.044.103 WP, yang terdiri atas 2.472.632 WP Badan, 5.239.385 WP Orang Pribadi (OP) Non Karyawan, dan 22.332.086 WP OP Karyawan. Wajib Pajak yang telah mengikuti program tax amnesty menurut data statistik Amnesti Pajak di website pajak.go.id yang telah menyampaikan Surat Pernyataan Harta (SPH) yaitu sebanyak 1.029.215 Wajib Pajak. Dari data tersebut Wajib Pajak yang telah mengikuti Program Tax Amnesty hanya sebesar 3,43% dari total Wajib Pajak terdaftar. Menurut saya cukup memprihatinkan karena yang memanfaatkan fasilitas hanya sebanyak 3,43% Wajib Pajak dimana menurut saya Fasilitas yang diberikan oleh UU No. 11 Tahun 2016 ini sangat istimewa dan berdasarkan historis pelaksanaan Pengampunan Pajak yang telah dilakukan di Indonesia yaitu pada tahun 1964, kemudian tahun 1984 dan yang terakhir adalah tahun 2016 kemarin. Kesempatan langka menurut saya bagi Wajib Pajak untuk dapat memanfaatkan fasilitas ini karena program pengampunan pajak menurut perkiraan saya akan diadakan kembali berpuluh-puluh tahun lagi dan mungkin saja tidak ada lagi program seperti itu.

Melihat data Wajib Pajak yang sudah mengikuti Tax Amnesty yang hanya sebanyak 3,43% dari total Wajib Pajak terdaftar, tentunya sebesar 96,57% Wajib Pajak yang belum mengikuti Tax Amnesty meskipun diantaranya ada Wajib Pajak yang dapat dikecualikan untuk mengikuti Tax Amnesty sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016. Bagi saya, masih sangat banyak Wajib Pajak yang belum memanfaatkan program tax amnesty ini.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Wajib Pajak tidak mengikuti Tax Amnesty yaitu tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir, Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, maka atas Harta yang belum dilaporkan tersebut dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. Atas tambahan penghasilan tersebut dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan

Dari pernyataan tersebut, Wajib Pajak yang tidak mengikuti Tax Amnesty akan ditelusuri hartanya dari tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015. Tentunya menurut pemikiran saya apabila saya sebagai Wajib Pajak dan tidak mengikuti Tax Amnesty, maka kepemilikan harta saya dari tahun-tahun tersebut dapat dihitung dan dianggap sebagai tambahan penghasilan pada saat ditemukannya oleh Dirjen Pajak dan akan dihitung pajaknya serta dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku, pastinya saya akan kepikiran, apa yang harus saya lakukan, ikut tax amnesty sudah berakhir, namun ada harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan saya. Sanksi tersebut akan diberlakukan paling lama tahun 2019, artinya apabila lewat tahun 2019 dan tidak ditemukan oleh Dirjen Pajak maka saya aman, tetapi saya tidak akan dapat tidur dengan nyenyak, untungnya diri saya yang sebenarnya sudah ikut tax amnesty, meskipun harta tidak banyak :).

Disini saya mencoba memberikan saran, apabila ternyata kondisinya teman-teman tidak ikut tax amnesty, dan ternyata ada harta yang tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan, atau bahkan punya NPWP dan memiliki harta tetapi belum melaporkan SPT Tahunan sama sekali, saya menyarankan untuk melakukan pelaporan SPT Tahunan dan mengisi hartanya dalam SPT bagi yang belum melaporkan SPT Tahunan dan melakukan pembetulan SPT Tahunan bagi yang belum melaporkan hartanya secara keseluruhan.

Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2007 tentang PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009 memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah dilaporkan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

Dalam ketentuan tersebut, Wajib Pajak diberikan hak untuk melakukan pembetulan SPT Tahunannya apabila dalam pengisian terdapat kekeliruan dalam hal ini belum melaporkan seluruh hartanya dalam SPT sepanjang belum dilakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan “mulai melakukan tindakan pemeriksaan” adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak. Langkah ini adalah saran saya yang paling tepat untuk dilakukan bagi teman-teman yang tidak ikut tax amnesty namun terdapat harta yang belum dilaporkan.

Mengapa saya sarankan untuk segera melakukan pembetulan SPT Tahunannya? Saat ini informasi data harta yang dimiliki oleh Dirjen Pajak sangat luas. Sebagai contoh:

  1. Kepemilikan harta berupa tanah dan/atau bangunan, Dirjen Pajak dapat meminta data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN)
  2. Kepemilikan harta berupa kendaraan, dapat diakses melalui Samsat
  3. Kepemilikan harta berupa tabungan/deposito atau produk perbankan lain dapat diminta dari Perbankan dan terlebih sekarang sudah ada aplikasi Pajak berupa AKASIA yang mempermudah Dirjen Pajak meminta data perbankan Wajib Pajak
  4. Kepemilikan produk surat-surat berharga dari lembaga sekuritas atau OJK
  5. dan masih banyak lagi akses data yang dapat diperoleh oleh Dirjen Pajak

Saat ini Dirjen Pajak di bawah kementrian keuangan sedang menggodok Aturan Pelaksanaan pemeriksaan atas Wajib Pajak yang tidak ikut tax amnesty dan rencananya akan diterbitkan 1 – 2 bulan mendatang. Saya sarankan untuk segera melakukan pembetulan sesuai Pasal 8 UU KUP tersebut terlebih dahulu ketimbang menunggu untuk dilakukan pemeriksaan oleh Dirjen Pajak.

Tentunya, apabila teman-teman ingin melakukan pembetulan, jangan asal melakukan pembetulan untuk tujuan yang penting harta yang tidak diikutkan tax amnestu terlaporkan dalam SPT. Dalam melakukan pembetulan harus sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dan apabila masih dalam periode penerapan UU No. 11 Tahun 2016 sampai dengan tahun 2019 ini, atas harta yang belum dilaporkan tersebut dan tidak ikut tax amnesty, teman-teman hitung sebagai tambahan penghasilan di tahun pajak yang akan dilakukan pembetulan. Misalkan ingin melakukan pembetulan SPT Tahun Pajak 2016, maka teman-teman hitung nilai harta tersebut dan diakui sebagai tambahan penghasilan tahun pajak 2016, hitung Pajaknya sesuai Pasal 17 UU 36 tahun 2008 tentang UU PPh, setorkan dan sampaikan SPT Tahunan Pembetulannya baik secara manual maupun elektronik. Perlu diketahui, atas pembetulan yang teman-teman lakukan, terdapat sanksi yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU KUP karena terdapat kurang bayar dalam melakukan pembetulan SPT yaitu sebesar2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar. Kita pasif saja menunggu Surat Tagihan Pajak (STP) yang dikirimkan oleh Dirjen Pajak, Apabila sudah memperoleh STP baru dilakukan penyetoran sanksinya.

Sekali lagi saran saya, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan, masih ada kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas pembetulan SPT sesuai Pasal 8 UU KUP, lakukan pembetulan SPT bagi yang belum melaporkan seluruh hartanya dan/atau bagi yang memiliki harta tetapi belum pernah melaporkan SPT, segera laporkan SPT Tahunanya dan tidak menutup kemungkinan, bagi yang memiliki harta tetapi belum punya NPWP, daftarkan NPWP dan laporkan hartanya dalam SPT daripada teman-teman dilakukan pemeriksaan pastinya akan membuka seluruh data-data kepemilikan harta dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2015 yang dapat berakibat sangat berat karena akan dihitung pokok pajaknya serta ditambah pengenaan sanksi yang cukup berat juga yaitu maksimal sebesar 48% dari pokok pajak yang harus dibayar.

Sebagai catatan, meskipun teman-teman telah melakukan pembetulan, namun potensi untuk dilakukan pemeriksaan oleh DJP tetap selalu ada, hanya saja apabila teman-teman sudah melakukan pembetulan kemudian dilakukan pemeriksaan, potensi sanksi administratif tidak terlalu memberatkan karena atas pokok pajaknya sudah teman-teman setorkan terlebih dahulu melalui proses pembetulan sepanjang pembetulan yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

 

Monggo saran dan masukannya 🙂

NPWP Wajib dimiliki oleh Orang Pribadi yang Akan Menjual Tanah dan/atau Bangunan

Banyak pertanyaan yang diajukan kepada saya terutama teman-teman yang akan menjual tanah dan/atau bangunannya. Pertanyaannya begini ” Apakah wajib orang yang akan menjual tanah dan/atau bangunannya memiliki NPWP? Bagaimana kalau tidak memiliki NPWP?

Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi masyarakat dalam rangka Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan wajib dimiliki sebagai identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. NPWP wajib dicantumkan Atas pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dengan menggunakan SSP atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan tersebut. Hal ini diatur sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2008 KEWAJIBAN PEMILIKAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DALAM RANGKA PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN yang diterbitkan tanggal 9 September 2008. Lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (2) peraturan tersebut, yang tidak wajib mencantumkan NPWP Penjual dalam SSP yang digunakan untuk pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dengan jumlah pajak yang harus dibayar kurang dari Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Jadi pencantuman NPWP dalam SSP Pajak Penghasilan Pasal 4 (2) tidak diwajibkan apabila pembayaran PPh atas penjualan tanah/bangunan kurang dari Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah)

Pencantuman NPWP tidak hanya pada SSP Pajak penghasilan yang wajib disetorkan oleh Penjual dengan mengisi NPWP Penjual, namun pencantuman NPWP juga wajib dilakukan atas pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan menggunakan SSB yang disebabkan adanya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Hal ini diatur dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2008 tersebut. Yang tidak wajib mencantumkan NPWP dalam SSB adalah SSB yang digunakan untuk pembayaran BPHTB oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dengan NJOP dan NPOP yang dialihkan kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Kesimpulan:

Bahwa sepanjang PPh yang disetorkan tidak kurang dari Rp.3.000.000,- (tiga juta rupiah) serta nilai penyerahan dengan NJOP dan NPOP tidak kurang dari Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) maka setiap transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan wajib mencantumkan NPWP dalam SSP Pembayaran Pajak Penghasilannya dan dalam SSB BPHTB.

Bagaimana kalau Orang Pribadi yang akan menjual tanah dan/atau bangunannya tidak memiliki NPWP sedangkan nilai transaksinya melebih syarat pengecualian dalam PerDirJen tersebut? Jawabannya sudah pasti bisa ditebak, ya daftar NPWP dulu 🙂

Praktek di lapangan, masih banyak transaksi penjualan tanah dan/atau bangunan atas SSP Pembayaran PPhnya masih dikosongkan. Hal ini perlu dilakukan penyempurnaan pelaksanaan di lapangan agar tujuan dari diterbitkannya peraturan ini yaitu dalam rangka mendorong kesadaran masyarakat dalam penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan sehubungan dengan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak dapat terlaksana dengan baik.

 

Penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2016 diperpanjang sampai dengan Tanggal 21 April 2017

Tanggal 31 Maret 2017 adalah tanggal sibuk bagi Wajib Pajak khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi. Mengapa? karena pada tanggal 31 Maret 2017 ini adalah:

  1. Batas akhir berlakunya Program Pengampunan Pajak dan setelah itu mungkin puluhan tahun lagi tidak akan pernah ada Program dari Pemerintah.
  2. Batas akhir penyampaian Laporan Penempatan Harta Tambahan bagi wajib Pajak yang sudah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2016.
  3. Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2016.

Ditjen Pajak sangat memahami kondisi ini sehingga dengan penuh bijaksana menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP – 87/PJ/2017 yaitu:

  1. Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun Pajak 2016 setelah batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, namun tidak melewati tanggal 21 April 2017, dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan.
  2. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi disampaikan tetapi tidak melebihi batas waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
  3. Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Dengan diterbitkannya Keputusan Dirjen Pajak ini memberikan kelonggaran bagi Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun Pajak 2017 dengan diperpanjang sampai dengan tanggal 21 April 2017 dan dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU KUP. Tetapi, apabila Wajib Pajak terdapat kekurangan pembayaran pajak terutang, tetap wajib disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 31 Maret 2017.

Kesimpulan:

Wajib Pajak Orang Pribadi dapat fokus untuk mengikuti Pengampunan Pajak. Lebih lanjut, bagi Wajib Pajak yang sudah mengikuti Pengampunan Pajak dan telah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak juga diberikan waktu untuk melaporkan pada tahun 2018 nanti sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No Per-03/PJ/2017.

Semangat Bro!

Sumber gambar: https://www.ortax.org

 

Wajib Pajak Orang Pribadi Pajak Penghasilan Tertentu yang Dikecualikan dari Kewajiban Menyampaikan SPT PPh

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Setiap Wajib Pajak yang sudah terdaftar dan memiliki NPWP, wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Batas waktu penyampaian SPT adalah :

  • Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
  • Wajib Pajak badan wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu penyampaian tersebut, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.

Tahukah Anda, bahwa ada Wajib Pajak yang dikecualikan atau dengan kata lain tidak diwajibkan untuk menyampaikan SPT baik SPT Masa PPh Pasal 25 dan/atau SPT Tahunan PPh. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT).

Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu merupakan Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

  • Wajib Pajak orang pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang PPh. Khusus untuk Wajib Pajak ini dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi.
  • Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas. Khusus Wajib Pajak ini dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25.

Kesimpulan:

  1. Apabila Anda adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang memperoleh penghasilan neto di bawah PTKP (sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.10/2016) maka Anda tidak wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 25 (Angsuran PPh) dan tidak wajib melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.
  2. Apabila Anda Wajib Pajak yang semula melakukan usaha, kemudian karena sesuatu hal usaha Anda tutup dan tidak menjalankan kegiatan usaha/pekerjaan bebas lagi, maka dikecualikan dari menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 (Angsuran PPh).

Ditunggu komentarnya.